Meski pemeriksaan perkara di Mahkamah
Agung sering memakan waktu lama, hakim kasasi tak mau menghitung upah selama
proses dan pesangon hingga putusan berkekuatan hukum tetap. MA hanya berpatokan
pada putusan PHI.
Dengan langkah terburu-buru, seorang laki-laki keluar dari
ruang administrasi kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta. Ia bergegas
menuju tempat foto copy yang terletak di bagian belakang gedung itu.
Selesai memfoto copy, ia mulai membuka lembar demi lembar
dokumen yang tak lain adalah salinan putusan Mahkamah Agung (MA). Usai membaca,
ia hanya menggeleng-gelengkan kepala. Pria itu adalah seorang aktivis serikat
pekerja. Ia baru saja mengambil salinan putusan perkara salah seorang
anggotanya. “Waduh, setelah lebih dari setahun diperiksa, upah proses dan
pesangon yang ditetapkan MA tak berbeda dari yang dijatuhkan hakim PHI,”
keluhnya kepada hukumonline.
Dalam perhitungan aktivis serikat pekerja itu, seharusnya
MA juga menghitung upah selama
proses dan pesangon sampai putusan berkekuatan hukum tetap. “Faktanya nggak
begitu.”
Sebagaimana diketahui, penghitungan upah selama proses dan
pesangon hanya diberikan kepada pekerja yang diputus hubungan kerjanya.
Sementara berdasarkan Pasal 151 Ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan setelah beroleh
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Jika dilakukan tanpa penetapan dari lembaga tersebut terlebih dulu, maka
PHK yang dilakukan perusahaan menjadi batal demi hukum. Hal itu ditegaskan
dalam Pasal 155 Ayat (1) undang-undang yang sama.
Selanjutnya, menengok Pasal 155 Ayat (2) UU
Ketenagakerjaan, sepanjang penetapan PHK belum dikeluarkan, masing-masing pihak
harus tetap melaksanakan kewajibannya. Pekerja tetap bekerja, sementara
pengusaha tetap berkewajiban membayar upah.
Undang-undang memberi pengecualian bagi pengusaha yang
lebih memilih menjatuhkan skorsing kepada pekerja ketimbang tetap
mempekerjakannya saat proses PHK. Jika pilihan itu yang diambil, pengusaha
tetap berkewajiban membayar upah pekerja. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 155
Ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Nah, upah yang tetap harus dibayar pengusaha dalam
proses PHK ini sering dikenal dengan upah proses.
Pada praktiknya, hakim PHI yang mengabulkan PHK suatu
perkara juga menghitung jumlah uang proses yang harus dibayar pengusaha.
Termasuk uang pesangon dan uang lain yang berhak diterima pekerja sesuai
undang-undang. Biasanya upah proses dan pesangon dihitung sampai putusan hakim
PHI dibacakan.
MA tidak menghitung
Lain hakim PHI, lain pula hakim di MA. Majelis hakim
kasasi tak pernah menghitung ulang upah proses maupun pesangon, meski
pemeriksaan perkara memakan waktu berbulan-bulan, bahkan ada yang lebih dari
setahun. Padahal, seharusnya perkara PHI di MA harus diputus paling lambat 30
hari kerja sejak permohonan kasasi diterima.
Paling tidak hal itu yang dilakoni Arsyad. Hakim Adhoc
pada MA ini mengakui bahwa ia tak pernah menghitung ulang upah selama proses
dan pesangon. “Kita memeriksa dan mengadili perkara PHI. Jadi besar pesangon
dan upah proses yang dikabulkan, ya hanya yang ditetapkan PHI saja,” katanya,
Sabtu (22/11).
Rekan sejawat Arsyad yang juga hakim adhoc pada MA
menuturkan, mustahil bagi hakim di tingkat kasasi untuk mengutak-atik lagi
perhitungan upah proses dan pesangon. “Sesuai hukum dan undang-undang, hakim di
tingkat kasasi hanya mengadili penerapan hukum. Kalau kita juga menghitung,
bisa ultra petita.”
Pasal 97 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) memang merumuskan, kewajiban
yang harus dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau
salah satu pihak ditetapkan dalam putusan PHI.
Tapi jika mengacu pada Pasal
56 huruf c UU PPHI, disebutkan bahwa untuk perkara perselisihan pemutusan
hubungan kerja, PHI hanyalah pengadilan tingkat pertama. Berbeda dengan perkara
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu
perusahaan, PHI menjadi lembaga pemutus tingkat pertama sekaligus terakhir.
Arsyad punya argumentasi lain. Menurutnya, tidak adil
membebankan kepada pengusaha untuk membayar upah proses dan pesangon lebih dari
yang ditetapkan PHI hanya karena lambatnya proses penanganan perkara di MA.
“Tahun ini saja ada delapan ratusan permohonan kasasi dan seratusan permohonan
PK,” katanya.