Jakarta - Kejaksaan Agung
menghentikan demi hukum perkara pemerasan dan penyalahgunaan wewenang
yang disangkakan terhadap Wakil Ketua (nonaktif) Komisi Pemberantasan
Korupsi Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Marwan Effendy dalam jumpa pers di
Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (30/11), menyatakan,
Selasa ini surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) diterbitkan.
Dalam
penjelasannya, Marwan didampingi Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta
Andy Nirwanto, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Setia Untung
Arimuladi, Direktur Penuntutan pada Bidang Tindak Pidana Khusus
Kejagung Fietra Sani, dan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Didiek
Darmanto.
SKPP ditandatangani Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta
Selatan paling lambat pukul 13.00, Selasa ini. Selanjutnya Bibit dan
Chandra diminta datang ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pukul 16.00
untuk menandatangani berita acara penerimaan SKPP.
Dicegat seusai jumpa pers, Marwan yang ditanya soal penerbitan SKPP menyatakan, ”Hakulyakin.”
Ada dua alasan penghentian penuntutan perkara Bibit dan Chandra, yakni alasan yuridis dan sosiologis.
Secara
yuridis, perbuatan Bibit dan Chandra memenuhi rumusan delik pidana yang
disangkakan, yakni Pasal 12 Huruf e dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
”Tetapi, dipandang dua
tersangka tidak menyadari dampak perbuatannya karena dinilai sebagai
hal yang wajar dalam tugas dan kewenangan mereka. Hal itu sudah
dilaksanakan oleh pendahulunya,” ujar Marwan.
Bibit dan Chandra
disangka menyalahgunakan wewenang saat menerbitkan surat pencegahan
Direktur PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo serta surat pencegahan dan
pencabutan pencegahan Direktur Utama PT Era Giat Prima Djoko S Tjandra.
Mengenai
alasan sosiologis, Marwan menyebutkan tiga hal. Pertama, suasana
kebatinan yang membuat perkara itu tidak layak ke pengadilan sehingga
jika diajukan ke pengadilan, lebih banyak mudarat dibandingkan dengan
manfaatnya.
Kedua, demi keterpaduan atau harmonisasi lembaga penegak hukum, sebagai alasan doktrinal yang dinamis dalam hukum pidana.
Ketiga,
masyarakat memandang perbuatan yang dilakukan Bibit dan Chandra tidak
layak dipertanggungjawabkan kepada keduanya. Pasalnya, tindakan Bibit
dan Chandra dalam melaksanakan tugas memberantas korupsi sehingga perlu
terobosan hukum.
Saat ditanya apakah sikap kejaksaan ini
berdasarkan alasan penutupan perkara demi hukum, Marwan menjawab,
”Pertimbangan yang diambil adalah demi hukum, karena tidak layak
diajukan ke pengadilan.”
Pada 23 November lalu, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menyatakan, solusi yang lebih baik ditempuh dalam
penanganan perkara Bibit dan Chandra adalah dengan tidak membawa kasus
ini ke pengadilan. Sebelumnya, Tim Delapan yang diketuai Adnan Buyung
Nasution merekomendasikan agar perkara Bibit dan Chandra dihentikan.
Harus tepat
Salah
seorang pengacara Bibit dan Chandra, Taufik Basari, justru mengingatkan
kejaksaan, SKPP seharusnya diterbitkan dengan alasan yuridis yang tepat.
Sesuai
temuan Tim Delapan dan para pakar yang dimintai pendapatnya oleh
Presiden, menempatkan alasan yuridis yang kurang tepat dapat membuka
peluang yang bisa menimbulkan masalah pada masa mendatang, misalnya
adanya pihak yang memohon praperadilan.
Dasar yang lebih tepat
untuk menghentikan perkara adalah tidak cukup bukti untuk sangkaan
pemerasan, yang didukung temuan Tim Delapan bahwa banyak missing link
dalam dugaan pemerasan. Untuk penyalahgunaan wewenang, alasan
penghentian karena bukan tindak pidana. Hal itu sesuai rekomendasi Tim
Delapan bahwa perkara tersebut terlalu dipaksakan.
Pihak
pengacara Bibit dan Chandra tak sependapat dengan pernyataan Marwan
bahwa unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan terhadap Bibit dan
Chandra terpenuhi. Alasan Marwan, bahwa Bibit dan Chandra tidak
menyadari tindakan mereka, dinilai mengada-ada.
”Dari keterangan Jampidsus, soal pemerasan tidak ditemukan dalam kasus ini. Hal ini harus ditegaskan dalam SKPP,” kata Taufik.
Hal
senada disampaikan mantan anggota Tim Delapan yang juga Rektor
Universitas Paramadina, Anies Baswedan. Ia meminta kejaksaan tidak
bermain api dengan membuat alasan penghentian kasus Bibit-Chandra
karena faktor psikologis, sosiologis, dan politis. Penghentian itu
harus berdasarkan hukum karena tidak cukup bukti.
Juru Bicara KPK
Johan Budi menyambut gembira pernyataan kejaksaan. ”Kita tunggu SKPP
ini. Tetapi, yang penting adalah rehabilitasi nama Pak Bibit dan Pak
Chandra,” kata Johan.
Sekretaris Jenderal Transparansi
Internasional Indonesia Teten Masduki menilai langkah kejaksaan sebagai
akomodasi atas kepentingan publik dan pernyataan Presiden. ”Kalau
memang bisa cepat, kenapa harus bertele-tele?” kata Teten.
Keppres pengaktifan
Menyusul
pengumuman Kejaksaan Agung, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny
Indrayana mengatakan, Presiden tengah mempersiapkan rancangan keputusan
presiden (keppres) tentang pengaktifan kembali pimpinan KPK itu.
Bahkan,
Presiden juga mempersiapkan rancangan keppres tentang pemberhentian
dengan hormat pelaksana tugas pimpinan KPK, Waluyo dan Mas Achmad
Santosa. Kedua keppres itu segera diterbitkan setelah SKPP kasus hukum
Bibit dan Chandra diterima secara resmi oleh Presiden dari Kejaksaan
Agung.
Di tempat terpisah, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional
Muladi menyayangkan sikap Polri dan Kejaksaan Agung yang dinilai
normatif sehingga terkesan lamban menindaklanjuti pidato Presiden atas
rekomendasi Tim Delapan.
”Bolanya sebenarnya ada di tangan Polri
dan Kejaksaan Agung. Seharusnya mereka harus lebih cepat merespons
kemauan masyarakat,” kata Muladi di Istana Wapres, Jakarta.
Menurut
Muladi, kelambanan Polri adalah melempar lagi kasus Bibit-Chandra ke
kejaksaan dan bukannya mengeluarkan surat perintah penghentian
penyidikan (SP3). ”Kejaksaan Agung kemudian memenuhi lagi prosedur ke
kejaksaan negeri lebih dahulu sebelum memutuskan,” katanya.
kompas.com
|