Bank Indonesia menerbitkan surat edaran terkait PBI anti money
laundering kepada setiap bank umum untuk melaporkan aktivitas perbankan yang
tidak wajar. Ketentuan ini berpotensi melanggar asas praduga tak bersalah.
Privasi nasabah bisa terganggu?
Mana yang harus lebih diutamakan, kepentingan
negara, bank atau nasabah? Dalam ranah perbankan, jawabannya (mungkin) cuma
Bank Indonesia
yang tahu. Di zaman pemulihan ekonomi pascakrisis keuangan global tahun lalu,
tentu menjadi pilihan sulit bagi bank untuk menolak calon nasabah. Apalagi buat
bank gurem dengan modal cekak. Profil calon nasabah dengan profesi apapun bisa
diterima. Tak peduli apakah kartu identitas yang digunakan nasabah ’aspal’ atau
palsu sekalipun.
Inilah tantangannya. Di satu sisi, bank perlu nasabah, di sisi lain bank tidak
boleh sembarang menerima nasabah. Kondisi ini terjadi semenjak UU No. 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan peraturan turunannya, termasuk
Peraturan Bank Indonesia (PBI) diterbitkan. Seleksi nasabah makin diperketat.
Apalagi sejak peristiwa bom di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton tanggal 17
Juli 2009 lalu. Bank Indonesia
seperti ’paranoid’.
Sejatinya, dua minggu sebelum peristiwa bom tersebut, Bank Indonesia
menerbitkan kebijakan baru terkait anti pencucian uang, yakni PBI Nomor
11/28/PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan
Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum tanggal 1 Juli 2009. Salah satu ketentuan
yang diatur dalam PBI itu adalah bank harus meneliti nasabah yang namanya mirip
dengan nama yang tercantum dalam database daftar teroris. Bila terdapat
kesamaan nama nasabah dan kesamaan informasi lainnya, bank wajib melaporkan
nasabah tersebut dalam laporan transaksi keuangan mencurigakan.
Ketentuan tersebut menuai polemik. Meski belum membaca PBI-nya, namun Ifdhal
Kasim, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), mengatakan aturan
semacam itu bisa melanggar asas persamaan di depan hukum dan presumption of
innoncent (praduga tak bersalah). Sebab, kata dia, seseorang yang belum
dijatuhi hukuman oleh pengadilan, apakah terkait teroris atau bukan, tidak bisa
serta merta ditolak dengan asumsi dia adalah teroris. ”Menurut saya, kebijakan
seperti ini salah. Karena, semua orang harus dijamin dapat mengakses,
menggunakan perbankan bagi peningkatan dirinya,” ujar Ifdhal, Rabu (9/12).
”Menurut saya, suatu keputusan yang dilakukan entah oleh siapapun itu, yang
bersifat membenarkan dugaan, persangkaan kepada orang, itu jelas pelanggaran
hak asasi. arena ga bisa orang atas dasar kita menduga dia pelaku tindak pidana
atau kriminal, atau teroris, kemudian akses dia kepada bank, kepada apapun itu
ditutup,” tambah Ifdhal.
Yang jelas lima bulan berselang setelah
terbitnya PBI tersebut, Bank Indonesia
menerbitkan surat
edarannya. Surat Edaran No. 11/31/DPNP itu prihal pedoman standar penerapan
program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi bank umum. Surat edaran yang mulai
berlaku sejak 30 November 2009 ini nampaknya bukan hanya akan membuat pusing
nasabah tapi juga pihak bank. Selain harus lebih selektif terhadap nasabah,
bank juga wajib melaporkan rencana aksi dan laporan terhadap upaya anti money
laundering kepada Bank Indonesia.
Red Flag Dalam surat
edaran disebutkan bank wajib memenuhi pedoman standar penerapan program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Ada 13 pedoman, yakni manajemen; kebijakan
CCD (customer due dilligence) dan EDD (enhanced due dilligence); pengelompokan
nasabah menggunakan pendekatan berdasarkan risiko (risk based approach);
prosedur penerimaan, identifikasi dan verifikasi; area berisiko tinggi dan political
exposed person; prosedur pelaksanaan CDD oleh pihak ketiga.
Kemudian cross border correspondent banking; prosedur transfer dana;
sistim pengendalian intern; sistim manajemen informasi; sumber daya manusia dan
pelatihan karyawan; kebijakan dan prosedur penerapan anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme pada kantor bank dan anak perusahaan di luar
negeri; dan penatausahaan dokumen dan pelaporan. Ketigabelas standar itulah
yang wajib dilaporkan direktur kepatuhan bank kepada Bank Indonesia setiap akhir tahun, mulai
Desember 2010.
Dalam lampiran surat
edaran juga dicantumkan contoh-contoh transaksi, aktivitas dan prilaku yang
tidak wajar (biasa disebut red flag) yang patut dicurigai oleh bank. Bank
Indonesia membaginya dalam beberapa kategori, yakni transaksi yang tidak
bernilai ekonomis, transaksi dengan menggunakan uang tunai dalam jumlah besar,
transaksi dengan menggunakan rekening bank, transaksi dengan melakukan transfer
ke luar negeri, transaksi yang berkaitan dengan investasi.
Lalu, transaksi yang berhubungan dengan pihak-pihak yang tidak dapat
diidentifikasi, transaksi yang terkait dengan prilaku nasabah atau pelaku
transaksi, ativitas yang dapat dikategorikan ilegal, transaksi mencurigakan
yang melibatkan karyawan bank dan atau agen, transaksi mencurigakan melalui
transaksi pinjam meminjam, transaksi yang terkait dengan hasil kejahatan di bidang
kehutanan dan transaksi lainnya.
Untuk kategori yang termasuk ativitas ilegal misalnya, bank patut mencurigai
nasabah yang diberitakan media massa
sebagai seseorang yang diduga terlibat aktivitas ilegal atau tindak pidana.
Modus lainnya adalah instruksi transfer dana masuk dari negara tax haven
(bebas pajak, red) atau negara yang terkenal dengan pendanaan terorisme.
Kemudian untuk kategori transaksi mencurigakan yang melibatkan karyawan bank
dan atau agen, seperti peningkatan kekayaan karyawan dan agen bank dalam jumlah
besar tanpa disertai penjelasan yang memadai. Contoh lainnya adalah hubungan
transaksi melalui agen yang tidak dilengkapi dengan informasi yang memadai
mengenai penerimaan akhir (ultimate beneficiary).
Yang jelas, contoh aktivitas transaksi yang tidak wajar yang dilampirkan oleh
Bank Indonesia dalam surat edarannya, cukup
banyak. Kalau aturannya seperti ini, privasi nasabah bukannya tidak mungkin
akan terganggu. Lihat saja komentar pembaca berita hukumonline
berjudul ’Bank Wajib Teliti Nasabah yang Namanya Mirip Nama Teroris’ tanggal 6
Juli 2009. Si pembaca bernama Abu Bakar Sulaiman nampaknya kontra dengan aturan
BI tersebut.
Kutipannya: ”... Kalo nama dari orang
tua "Muhammad Noordin" yang artinya "Muhammad Cahaya Agama"
tidak boleh dipakai karena mirip Noordin M. Top, teroris kelas kakap yang
paling dicari, sedangkan kalau namanya "Loe Mei Lan Tjap",
"Takashi Mura", "Sun Dong Yang" atau "James Bond"
adalah bukan teroris, alasannya sederhana, karena teroris tidak pernah
menggunakan nama-nama itu... Bagaimana kalo warga negara Indonesia keturunan Arab, Jordan
atau Mesir yang ingin bertransaksi di bank? Nama mereka sebagian besar
mirip-mirip dengan daftar nama teroris yang ada, akan kita periksa satu
persatu, hanya karena nama mereka sama atau mirip?? … Untuk apa memeriksa nama
yang mirip, nama yang tidak mirip malah sudah melakukan cuci uang...”
Seperti komentar di atas, seorang nasabah bank swasta nasional juga
mempersoalkan ketentuan ini. Sebut saja Muhammad, pria berwajah Timur Tengah
ini tidak setuju jika ’pemeriksaan’ oleh bank dilakukan kepada nasabah lama,
apalagi kalau dasarnya hanya kemiripan nama nasabah dengan nama teroris. ”Itu
bukan domainnya bank sih. Saya rasa yang boleh dia lakukan itu hanya mengecek
data-data yang dia (bank, red) sudah punya. Beda kalau ketentuan soal wawancara
berlaku buat calon nasabah baru,” ujarnya.